Powered By Blogger

About Me

Kota Tua Semarang


Kota tua, adalah salah satu sisi lain dari kota Semarang yang sangat menawan. Apalagi bagi pengagum arsitektur-arsitektur tua peninggalan Belanda dahulu kala. Beberapa tahun yang lalu saya berkesampatan untuk mengunjungi daerah ini, dari awal memang sudah saya niatkan kalau ke kota Semarang harus berkunjung ke kota tua. Gambar-gambar yang ada di posting ini saya ambil pada kesempatan itu sekitar tahun 2004.

Di dalam, tampak bangunan-bangunan tua yang masih kokoh dan dijadikan perkantoran-perkantoran beberapa nampak tidak terawat. Jalan-jalannya menggunakan paving block dan banyak sudut-sudut jalan yang sepi.


Suasana malam hari juga tidak kalah menakjubkan. Dengan penerangan lampu-lampu jalan, gedung-gedung tua nampak indah dalam bingkai foto.

Salah satu bangunan yang cukup terkenal adalah Gereja Blendug. Entah kenapa di sebut Blendug mungkin yang atapnya membulat. Aslinya, gereja itu bernama Gereja Imanuel dibangun pada tahun 1750 dan menjadi gereja Protestan tertua di Indonesia.







[+/-] Selengkapnya...

Sunda Kelapa


Menyusuri Kota Tua Jakarta

KOTA Jakarta yang selalu bertambah usianya sebenarnya memiliki banyak kawasan historis, salah satunya adalah kawasan kota. Berada di kawasan ini memberikan nuansa lain dari kebanyakan kawasan ibu kota.Tur Kota Tua Jakarta dimulai dari Pelabuhan Sunda Kelapa dan berakhir di Taman Fatahillah.

Cikal bakal Pelabuhan Sunda Kelapa


Pelabuhan Sunda Kelapa kini merupakan pelabuhan bongkar muat barang, utamanya kayu dari Pulau Kalimantan. Di sepanjang pelabuhan berjajar kapal-kapal phinisi atau Bugis Schooner dengan bentuk khas, meruncing pada salah satu ujungnya dan berwarna-warni pada badan kapal. Setiap hari tampak pemandangan para pekerja yang sibuk naik turun kapal untuk bongkar muat.

Pelabuhan Sunda Kelapa sebetulnya telah terdengar sejak abad ke-12. Kala itu pelabuhan ini sudah dikenal sebagai pelabuhan lada yang sibuk milik kerajaan Hindu terakhir di Jawa Barat, Pajajaran, terletak dekat Kota Bogor sekarang. Kapal-kapal asing yang berasal dari Cina, Jepang, India Selatan, dan Arab sudah berlabuh di pelabuhan ini membawa barang-barang seperti porselen, kopi, sutra, kain wangi-wangian, kuda, anggur, dan zat warna untuk ditukar dengan rempah-rempah yang menjadi kekayaan tanah air saat itu.

Bangsa Eropa pertama asal Portugis tiba pertama kali di Sunda Kelapa tahun 1512 untuk mencari peluang perdagangan rempah-rempah dengan dunia barat. Keberadaan mereka ternyata tidak berlangsung lama, setelah gabungan kekuatan Muslim Banten dan Demak, dipimpin Sunan Gunungjati (Fatahillah), menguasai Sunda Kelapa dan mengganti namanya menjadi Jayakarta ("kemenangan yang nyata") tanggal 22 Juni 1527.

Setelah Portugis hengkang , para pedagang asal Belanda tiba tahun 1596 dengan tujuan yang sama, mencari rempah-rempah. Rempah-rempah sangat dicari saat itu dan menjadi komoditas luks di Belanda karena berbagai khasiatnya seperti obat, penghangat badan, dan bahan wangi-wangian. Para pedagang Belanda (yang kemudian tergabung dalam VOC) awalnya mendapat sambutan hangat dari Pangeran Wijayakrama dan membuat perjanjian.

Namun, tergiur dengan potensi pendapatan yang tinggi dari penjualan rempah-rempah di negara asalnya, VOC mengingkari perjanjian dan mendirikan benteng di selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Benteng ini, selain berfungsi sebagai gudang penyimpanan barang, juga digunakan sebagai benteng perlawanan dari pasukan Inggris yang juga berniat untuk menguasai perdagangan di Nusantara.

Benteng tersebut dibangun tahun 1613, sekira 200 meter ke arah selatan Pelabuhan Sunda Kelapa. Pada tahun 1839 di lokasi ini didirikan Menara Syahbandar yang berfungsi sebagai kantor pabean, atau pengumpulan pajak dari barang-barang yang diturunkan di pelabuhan. Lokasi menara ini menempati salah satu bastion (sudut benteng) yang tersisa.

Sekira 50 meter ke arah barat menara terdapat Museum Bahari. Di dalam museum ini dapat disaksikan peralatan asli, replika, gambar-gambar dan foto-foto yang berhubungan dengan dunia bahari di Indonesia, mulai dari zaman kerajaan hingga ekspedisi modern. Museum ini sebetulnya menempati bangunan gudang tempat menyimpan barang-barang dagang VOC di abad 17 dan 18, dan tetap dipertahankan kondisi aslinya untuk kegiatan pariwisata. Bahkan sebagian bangunannya bisa disewa untuk acara-acara pribadi. Pada sisi utara museum masih terdapat benteng asli yang menjadi benteng bagian utara.

Memasuki Jln. Tongkol di selatan museum, kita akan tiba di lokasi bekas bengkel kapal VOC atau dikenal juga dengan VOC Shipyard . Di sini, pada masa lalu, kapal-kapal yang rusak diperbaiki. Saat ini, bangunan memanjang dengan jendela-jendela segi tiga di atapnya tersebut direvitalisasi sebagai restoran dengan tetap mempertahankan arsitektur aslinya.

[+/-] Selengkapnya...

Kawasan kota lama: Amsterdam di Timur




Ke arah selatan, melewati jembatan tol, kita akan tiba di lokasi asli kawasan Batavia yang dibangun antara 1634 hingga 1645. Batavia adalah hasil rancangan Gubernur Jenderal Coen, yang berniat membangun Amsterdam versi Timur dan menjadi pusat administrasi dan militer Hindia Belanda.

Objek pertama di kawasan ini adalah jembatan unik khas Belanda. Jembatan kayu berwarna coklat kemerahan ini dikenal sebagai Jembatan Pasar Ayam. Dibangun Belanda tahun 1628 sesuai dengan gaya aslinya di Amsterdam, yaitu bisa diangkat ketika kapal-kapal melintasinya.

Masih di kawasan ini, yaitu Jalan Kali Besar Barat dan Kali Besar Timur, berjajar bangunan-bangunan dari abad 18, beberpa dari awal abad 20. Kawasan ini merupakan pusat dari benteng Kota Batavia, yang mengalami masa jayanya pada abad 17 dan 18. Beberapa bangunan unik khas Eropa di kawasan ini adalah bangunan Asuransi Lloyd, Standard Chartered Bank, PT Samudra Indonesia, PT. Bhanda, Graha Raksa, dan Toko Merah.


Berjalan ke arah selatan sepanjang Sungai Kali Besar dan berbelok ke arah kiri di Jalan Pintu Besar Utara 3 kita akan tiba di lokasi di mana gedung pusat Bank Indonesia yang lama berdiri. Gaya arsitekturnya khas seperti umumnya bangunan BI di kota-kota di Indonesia, yaitu Neo-Classic, terlihat indah dengan ornamennya dan berwarna putih. Bangunan BI ini dibangun pada awal tahun 1990-an.

Dari BI kita berbelok di Jalan Pintu Besar Selatan dan berjalan ke arah utara, menuju kawasan Taman Fatahillah. Taman Fatahillah merupakan lapangan terbuka berbentuk persegi empat dengan bangunan-bangunan bersejarah di semua sisinya. Di sisi barat terdapat beberapa bangunan unik, salah satunya Museum Wayang (1912) yang di dalamnya dipamerkan koleksi wayang dari seluruh Indonesia dan beberapa negara di dunia. Museum ini dibangun di atas lahan gereja yang didirikan tahun 1640, namun rubuh akibat gempa bumi.

Di sisi utara terdapat sebuah restoran yang menempati bangunan dari awal tahun 1800-an. Di sampingnya, bangunan bergaya art deco yang berfungsi sebagai kantor pos. Di sisi timur berdiri bangunan bergaya Indische Empire Stiijl, bekas gedung pengadilan yang kini berfungsi sebagai Museum Seni Rupa. Di dalamnya dipamerkan koleksi keramik, lukisan, dan gambar-gambar yang menjelaskan perkembangan seni rupa di tanah air.

Di sisi selatan berdiri megah bangunan Museum Sejarah Jakarta. Bangunan unik yang terdiri dari dua lantai ini memamerkan barang-barang asli, replika, gambar-gambar dan foto-foto yang menunjukkan perkembangan sejarah Jakarta dari masa prasejarah hingga kini. Sebetulnya masih ada basement, yang digunakan sebagai ruang tahanan semasa pemerintahan VOC, lengkap dengan rantai-rantai besi asli yang digunakan untuk mengikat kaki para tahanan. Suasana muram, gelap dan pengap yang dirasakan ketika menengok lantai bawah tanah ini sanggup membuat bulu kuduk berdiri membayangkan kondisi sulit para tahanan saat itu.


Museum Sejarah (Stadhuis) dibangun tahun 1620 hingga 1707 atas inisiatif Gubernur Jenderal Coen dan awalnya digunakan sebagai bangunan balai kota semasa VOC berkuasa. Taman Fatahillah yang terletak di depannya menyimpan banyak sejarah, salah satunya pembantaian 5.000 keturunan etnis Cina pada tahun 1740. Penyebabnya karena VOC merasa terancam dengan keberadaan etnis Cina di Batavia yang jumlahnya membengkak, serta naluri bisnis mereka.

Kawasan Kota Tua Jakarta hanyalah salah satu dari beberapa kawasan historis di Jakarta. Masih ada yang lain seperti Glodok (Pecinan), kawasan sekitar Pasar Baru, Medan Merdeka, dan Menteng. Namun bila dilihat dari urutan sejarahnya, kawasan Kota Tua adalah cikal bakal perkembangan dan sejarah Kota Jakarta, sehingga terasa relatif lebih menarik untuk dijelajahi.

Diambil dari Harian Pikiran Rakyat, Minggu, 25 April 2004, photo-photo koleksi pribadi.

[+/-] Selengkapnya...

7 Keajaiban Dunia


1. Tembok China



2. Taj Mahal di India



3. Puing- puing taman petra diyordania



4. Kolaseum Roma di Italia



5. Patung Yesus di Brazilia



6. Machu Pichu di Peru



7. Kota Tua Maya di Meksiko

Dimanakah Borobudur….? Rupanya pemilihan situs 7 keajaiban dunia versi terbaru (baru diumumkan tanggal 7 juli 2007— menambah mitos 07/07/07..he..he..he..) adalah hasil karya peradaban baru manusia yang dikenal oleh dunia barat. Dalam sejarahnya pemilihan 7 keajaiban dunia dilihat pula masa pembuatannya. Maka dalam hal ini dikenal enam set Keajaiban Dunia, yaitu :

1. Keajaiban Dunia Kuno
2. Keajaiban Dunia Pertengahan
3. Keajaiban Dunia Alami
4. Keajaiban Dunia Bawah Air
5. Keajaiban Dunia Modern
6. Keajaiban Dunia Baru

Sebagian besar daftar keajaiban dunia adalah berdasar peradaban barat, atau paling tidak yang dikenal oleh sejarahwan barat. Borobudur adalah salah satu keajaiban dunia kuno yang daftarnya disusulkan, karena yang didaftar awal sebagai keajaiban dunia kuno adalah :

1. Colossus of Rhodes — patung Helios yang sangat besar, dibuat sekitar tahun 292–280 SM oleh Chures, sekarang Yunani.
2. Taman Gantung Babilonia — dibuat oleh Nebukadnezar II, sekitar abad ke-8 SM–abad ke-6 SM, sekarang Irak.
3. Mausoleum of Halicarnassus — makam Mausolus, satrap Persia, Caria, dibuat pada tahun 353–351 SM, di kota Halicarnassus, sekarang Bodrum, Turki.
4. Pharos di Alexandria — mercusuar dibangun sekitar tahun 270 SM di pulau Pharos dekat Alexandria pada masa pemerintahan Ptolemeus II oleh arsitek Yunani Sostratus, sekarang Mesir.
5. Piramida Giza — dipakai sebagai makam untuk firaun Mesir Khufu, Khafre, dan Menkaure, sekarang Mesir. Dibangun pada dinasti ke-4 Mesir (sekitar 2575– sekitar 2465 SM)
6. Patung Zeus — berada di Olympia, dipahat oleh pemahat Yunani Fidias, kira-kira 457 SM sekarang Yunani.
7. Kuil Artemis — 550 SM, di Efesus, sekarang Turki.

[+/-] Selengkapnya...

deretan bangunan tua di Kawasan Kota Lama


Hari Jum’at 9 Nopember 2007 kemarin saya sempat membaca tulisan bapak Arifuddin Patunru di Panyingkul yang berjudul, “hadirkan kembali bangunan tua itu..”. Serentak saya teringat pengalaman saya beberapa waktu yang lalu saat menghabiskan masa libur lebaran di kota Semarang, Jawa Tengah. Sebagian waktu libur itu saya habiskan dengan mengunjungi kawasan kota lama.

Semarang adalah salah satu kota di Indonesia yang tetap mempertahankan kawasan bangunan tuanya. Kawasan ini pula yang kemudian menjadi salah satu daya tarik ibukota Jawa Tengah tersebut.

Berdasarkan catatan sejarah, pada abad ke-18, Semarang memiliki suatu kawasan yang yang menjadi pusat perdagangan. Kawasan inilah yang kemudian dikenal sebagai kawasan kota tua atau dulunya disebut Oude staadt. Waktu itu jalur pengangkutan lewat air sangat penting. Hal itu dibuktikan dengan adanya sungai yang mengelilingi kawasan ini yang dapat dilayari dari laut sampai dengan daerah Sebandaran di kawasan Pecinan.

Pemerintah Hindia Belanda dulunya membangun benteng di sekitar kota lama. Benteng ini dinamai Benteng Vijhoek. Bila dilihat dari kondisi geografi, kawasan yang luasnya sekitar 31 Ha. ini memang terpisah dari lingkungan sekitarnya. Wajar kalau kawasan ini mendapat julukan Little Netherland.

Di kawasan yang menjadi saksi bisu penjajahan Belanda di Indonesia ini masih tegak berdiri sekitar 50 bangunan kuno meski sebagian telah termakan usia. Beberapa diantaranya difungsikan kembali sebagai gedung perkantoran.

Pada akhir 1990-an, Pemerintah Kota Semarang merevitalisasi kawasan Kota Lama dengan memperbaiki dan membenahi jalan, drainase dan membuat polder untuk mengendalikan rob (rembesan air laut ke daratan). Ruang terbuka di sekitar polder tepat di depan stasiun kereta api Tawang itu juga digunakan untuk rekreasi, pentas apung maupun “dugderan” menjelang datangnya bulan puasa.

Berjalan kaki di kawasan Kota Lama ini rasanya seperti kembali ke masa seratus tahun yang lalu. Hampir tidak ada perubahan yang berarti. Tidak heran bila kawasan ini telah berkali-kali digunakan sebagai lokasi pembuatan film yang bersetting masa lampau. Salah satunya adalah ‘GIE’.

Bangunan-bangunan tua penuh kisah itu dibiarkan tetap berdiri. Sebagian memang sudah tampak kusam dan tak terurus, tapi sebagian lagi sudah diperbaiki dan dipergunakan sebagai kantor. Seluruh bangunan mengadopsi gaya arsitektur Eropa abad 18 dan 19, namun banyak juga perpaduan arsitektur Eropa dengan arsitektur Jawa dan China. Setiap bangunan yang berada dalam blok-blok terpisah itu tidak memiliki halaman, pintu langsung berada di pinggir jalan. Blok-blok tersebut dihubungkan oleh jalan-jalan kecil yang saat ini dilapisi paving blok. Sungguh sebuah kawasan yang memanjakan para pecinta bangunan tua.

Gereja Blenduk
Salah satu bangunan tua yang masih tegak dan tampak rapih adalah sebuah gereja Protestan yang lazim disebut Gereja Blenduk. Nama ini diberikan merunut pada bentuk kubahnya yang dalam bahasa Jawa disebut Blenduk (menggembung), sampai sekarang nama asli gereja ini tidak diketahui.

Menurut catatan, gereja ini dibangun pada abad ke-17 dan telah mengalami 3 kali renovasi, yaitu pada tahun 1753, 1894 dan terakhir tahun 2003. Setiap renovasi diabadikan lewat tulisan di atas batu marmer yang terpasang di bawah alter gereja. Renovasi-renovasi tersebut sama sekali tidak merubah ciri khas bangunan yang mengadopsi gaya arsitektur Eropa klasik yang anggun dan aristokrat.

Gereja Blenduk memiliki denah octagonal atau segi delapan beraturan dengan ruang induk di tengah, tepat di bawah kubah. Di bagian atas gereja, tepatnya di balkon masih terlihat organ (orgel) peninggalan jaman Belanda yang sudah berusia ratusan tahun. Sayang orgel ini sudah tidak bisa difungsikan lagi sebagai pengiring saat jemaah gereja bernyanyi.

Lawang Sewu.
Setelah puas berkeliling di kawasan Kota Lama, saya kemudian menyempatkan diri mengunjungi salah satu bangunan tua yang juga menjadi ikon kota Semarang. Namanya Lawang Sewu. Tidaklah sulit untuk mencapai lokasi gedung tua ini karena letaknya berdekatan dengan monumen Tugu Muda di salah satu sudut kota Semarang.




Bangunan monumental dan indah ini di desain mengikuti kaidah arsitektur morfologi bangunan sudut yaitu dengan menara kembar model gotik di sisi kanan dan kiri pintu gerbang utama ini dan bangunan gedung memanjang ke belakang yang mengesankan kokoh, besar dan indah. Gedung kuno ini menurut catatan sejarah dibangun pada tahun 1903, dan selesai atau diresmikan penggunaannya pada tanggal 1 Juli 1907.

Lawang Sewu adalah gedung megah bergaya art deco yang bercirikan ekslusif dan berkembang pada era 1850-1940 di benua Eropa. Bangunan ini salah satu karya dua arsitek Belanda ternama saat itu, yaitu: Prof. Jacob F. Klinkhamer dan B.J Queendag. Awalnya digunakan sebagai kantor perusahaan kereta api Belanda atau dikenal dengan nama Nederlandsch Indishe Spoorweg Naatschappij atau dikenal NIS.
Oleh masyarakat setempat bangunan ini disebut Lawang Sewu yang berarti pintu seribu. Nama ini sebagai kiasan yang menunjukkan bahwa bangunan tersebut memiliki banyak pintu.

Tahun 1945 tepatnya tanggal 8 september, terjadi pertempuran hebat antara Angkatan Muda Kereta Api Indonesia yang berusaha merebut bangunan ini dari tangan Kempetai dan Kido Butai Jepang. Untuk mengenang jasa-jasa mereka yang gugur dalam pertempuran 5 hari tersebut, di depan Lawang Sewu dibangun sebuh tugu peringatan.

Dua tahun lalu saat saya berkunjung ke Lawang Sewu, oleh penjaga saya tidak diperbolehkan masuk sebelum mengantongi ijin khusus dari PT. Kereta Api, pihak yang sekarang menjadi pemilik gedung tersebut. Sebelum diambil alih oleh PT. KA, Lawang Sewu pernah dijadikan kantor KODAM Diponegoro dan Kanwil Perhubungan Jawa Tengah.

Hari itu saat saya berkunjung, Lawang Sewu telah dibuka untuk umum. Ini adalah salah satu bagian dari program pariwisata kota Semarang yang dikenal dengan Semarang Pesona Asia (SPA). Wisatawan yang datang cukup banyak, hanya dengan membayar Rp. 5000,- untuk biaya pemeliharaan dan perawatan gedung kami bisa masuk dan berkeliling dalam kawasan Lawang Sewu.

Lawang Sewu ini terdiri dari sebuah bangunan utama yang membentuk huruf U dengan taman terbuka di bagian dalam. Dari pintu utama kita langsung disambut sebuah tangga besar menuju lantai 2. Di bagian bordes tangga terpasang sebuah kaca grafir yang menutupi jendela dengan ukiran yang indah .

Memasuki gedung ini aroma mistis segera menyergap kita. Lorong-lorong gelap dan kusam tampak cukup menyeramkan. Saya teringat sebuah tayangan reality show bertema mistis beberapa tahun lalu yang ditayangkan oleh Trans TV. Waktu itu dalam segment uji nyali yang berlokasi di Lawang Sewu, kamera sempat menangkap penampakan sebuah bayangan putih yang dipercaya sebagai salah satu penunggu Lawang Sewu.

Banyak orang percaya kalau Lawang Sewu memang banyak dihuni oleh mahluk-mahluk halus dari berbagai jenis. Katanya beberapa waktu yang lalu pernah muncul wacana untuk mengubah Lawang Sewu menjadi sebuah hotel. Namun setelah pihak investor meminta bantuan paranormal untuk mengecek keberadaan para penghuni Lawang Sewu, niat tersebut dibatalkan karena sang paranormal sendiri kewalahan untuk membersihkannya.

Saya sedikit banyaknya mempercayai tentang keberadaan para mahluk halus penghuni Lawang Sewu tersebut karena aroma mistisnya memang sangat terasa.

Dan aroma mistis yang menegangkan makin terasa saat saya mengikuti tur ke penjara bawah tanah Lawang Sewu yang terletak di bagian belakang. Di ruang bawah tanah inilah penampakan yang direkam oleh kamera Trans TV itu berlokasi. Cukup dengan membayar tambahan Rp. 5000,- kita sudah bisa ikut turun ke penjara bawah tanah tersebut.

Penjara yang dimaksud berada di kedalaman kurang lebih 3 meter dari permukaan. Suasananya gelap gulita dan sumpek. Begitu masuk kami dibawa menelusuri lorong-lorong selebar 1,5 meter dengan ketinggian langit-langit yang tak lebih dari 2,5 meter dengan bantuan senter besar dari pemandu.

Pemandu yang menemani kami menunjukkan kamar-kamar di sebelah kanan dan kiri lorong yang dulunya dijadikan sebagai penjara atau tempat penyiksaan para pejuang kita baik oleh pihak Belanda maupun pihak Jepang.

Ruangan pertama yang ditunjukkan kepada kami adalah ruangan yang berisi bak-bak beton setinggi 1 m. Dalam bak-bak beton tersebut katanya para pejuang kita dipaksa untuk berjongkok dan direndam air sementara bagian atasnya ditutup jeruji besi. Ruangan ini bernama penjara jongkok. Saya bergidik membayangkan derita para tahanan yang disekap di situ.

Selanjutnya ada jejeran sekat batubata menyerupai lemari selebar 1 x 1 meter yang disebut penjara berdiri. Di sekat-sekat yang sempit tersebut dijejalkan 4 sampai 5 tahanan dan ditutup dengan jeruji besi. Katanya tahanan akan dibiarkan di dalam sana sampai mati lemas.

Tapi ruang yang paling menyeramkan adalah ruang eksekusi. Di dalam ruangan tersebut terdapat bekas meja baja yang ditanam ke lantai. Katanya di dalam ruangan itulah para tahanan dieksekusi dengan cara dipenggal. Saya hanya mengintip sejenak ke dalam dengan bantuan senter si pemandu, rasanya bulu kuduk saya merinding membayangkan proses eksekusi pada para pejuang kita itu.

Setelah mengitari lorong-lorong bawah tanah selama kurang lebih 15 menit kami kami akhirnya kembali ke atas. Rasanya lega sekali bisa menghirup udara di permukaan. Sebuah pengalaman yang sangat menyenangkan sekaligus menegangkan.

Bangunan tua yang tetap terjaga
Sebagai pecinta bangunan-bangunan tua dan bersejarah, saya merasa sangat dimanjakan oleh Pemerintah Kota Semarang. Saya diam-diam mengangkat topi dan salut kepada komitmen Pemerintah Kota Semarang yang tetap bertahan menjaga bangunan-bangunan tua tersebut. Selain di kasawan Kota Lama, masih banyak lagi bangunan-bangunan tua yang tersebar di seluruh kota Semarang.

Walaupun tidak semua bangunan tersebut dirawat dan digunakan kembali, tapi setidak-tidaknya jejak sejarah bangsa kita masih sangat mudah ditemui di kota itu. Bangunan-bangunan tersebut mungkin beruntung karena berdiri di atas kota di mana pemerintahnya masih tetap menghargai keberadaan mereka. Saya bahkan sempat berpikir nakal, “ wah kalau di Makassar, pasti kawasan ini sudah lama dijadikan kawasan ruko atau malah Mall”.

Secara tidak sadar saya memang membandingkan kepedulian Pemkot Semarang dalam merawat bangunan-bangunan tuanya dengan sikap Pemkot Makassar yang kadang semena-mena terhadap bangunan tua penuh nilai sejarah. Di Makassar, hanya ada segelintir bangunan tua yang tersisa. Itupun berada dalam area yang tersebar dan tidak membentuk suatu kawasan, sehingga kita akan sangat kesulitan untuk menemukan jejak sejarah kota Makassar.

Kebijakan Pemkot Semarang yang cukup peduli pada bangunan-bangunan tuanya dibuktikan dengan SK Walikota no. 650/50/1992 yang melindungi 102 bangunan tua termasuk Lawang Sewu. Selain itu tampak di berbagai jalan besar juga dipasang spanduk yang bertuliskan kata-kata, “ mari kita jaga dan lestarikan bangunan tua di Semarang”. Bangunan-bangunan tua tersebut terbukti berhasil menarik minat wisatawan lokal maupun internasional yang ujung-ujungnya tentu menambah pundi-pundi pendapatan daerah.

Saya membayangkan betapa senangnya para orang-orang Belanda yang sudah tua dan pernah tinggal atau bertugas di Semarang saat mereka bisa kembali dan bernostalgia di daerah yang pastinya menyimpan banyak kenangan buat mereka. Sangat berbeda dengan keadaan di kota Makassar.

Memang semuanya sudah terlambat bagi kota Makassar. Membangun kembali bangunan baru yang berarsitektur seperti bangunan tua tersebut bukan sebuah jalan keluar, karena sebenarnya yang paling penting adalah konsep kawasannya. Bagi saya dan mungkin juga anda, sekarang yang terpenting adalah jangan sampai semua peninggalan bersejarah itu dihilangkan dari kota Makassar. Apalagi untuk sebuah alasan komersil semata. Bukankah begitu ?.

foto-foto lainnya bisa dilihat di sini !


Ditulis oleh : Ipul pada 11/19/2007 10:37:00 AM

Kategori Catatan Ringan, Jalan-Jalan


[+/-] Selengkapnya...

Penindustian Eropa diKota Tua


Datanglah ke Marienplatz [plaza Maria - foto atas] Muenchen, Jerman. Tidak jauh dari Hauptbahnhof, stasiun kota. Jika cuaca bagus, dipastikan kawasan ini dipenuhi pejalan kaki. Di satu sudut kita bisa menjumpai anak-anak muda bermain band, unplugged. Di sudut lain, kadang kita jumpai pengamen-pengamen dengan biola dan bas betot melantunkan Blue Danube, komposisi klasik Johan Strauss. Mereka dikerubungi penonton, tapi juga sering bermain sendirian. Tak jadi soal.



Ada sesuatu yang unik di sini. Menjelang jam 11 siang, pengunjung di Plaza ini pasti berkerumun menantikan jarum jam tepat ke angka 11. Itulah saat glockenspiel [foto kiri] yang termasyhur berbunyi, dengan boneka-boneka kecil menari berkeliling. (Jakarta punya kopinya di Plaza Senayan).

Banyak kota tua Eropa yang dijadikan kawasan pedestrian, yang makin lama semakin terkenal. Keindahan bangunan masa lalu bisa dinikmati sambil berjalan-jalan tanpa khawatir tersambar sepeda motor atau dijambret.

Di Brussel, Belgia, sasaran pertama para wisatawan adalah Grotte Markt [foto atas], pedestrian di kawasan kota berusia seribu tahun. Berjalan mengagumi berbagai bangunan gothic di sini terasa cepat lapar. Pasalnya di setiap sudut dan trotoar digelar kafe dengan aroma menggoda. Belum lagi berbagai bentuk kreasi coklat Belgia yang dikenal lezatnya dipajang di etalase.
Jika kota lain terkenal dengan monumen atau bangunan besar, Brussel dikenal dengan Manneken Pis [foto kiri], patung mungil sedang pipis. Tingginya cuma 60 cm tapi perungu tahun 1619 ini menghasilkan devisa lebih besar dari Monas. Berbagai suvenir laku keras, dari t-shirt, gantungan kunci, sampai duplikat Manneken Pis yang terbuat dari segala jenis materi. Bahkan ada coklat sebesar Manneken Pis.

Ketika mendengar Kota Tua Jakarta hendak dijadikan kawasan pedestrian, terbayang suasana pedestrian di Eropa. Jika seluruh kawasan sudah didandani, berjalan-jalan di Kota Tua menjadi sangat menarik. Pasti banyak hal positif dan kreatif bisa berkembang dengan sendirinya.

Terbayang di sana para turis bisa asyik mengagumi atraksi barongsai; mengerumuni kelompok musik keroncong Tugu; atau serius mengamati jejak sejarah di profil bangunan tua.

Para pejalan kaki di pedestrian Kota Tua nantinya semuanya perlu diposisikan sebagai customer yang menikmati keindahan. Jangan mereka disepelekan, jangan sampai di tengah-tengah para pejalan itu tiba-tiba ada sebuah mobil ingin bongkar muat nyelonong di situ. Jangan sampai ada sampah menyengat. Kebersihan akan membuat nuansa jalan-jalan semakin mengasyikan.
Bus yang direncanakan beroperasi di kawasan Kota Tua [foto atas] merupakan gagasan menarik. Desainnya mengingatkan pada trem, mungkin jika meniru trem sampai ke detilnya akan punya fungsi lebih. Ia akan menjadi replika bergerak, penumpang pun akan bisa belajar banyak tentang sejarah trem di Jakarta [foto bawah]. Apalagi kalau bahan bakarnya ramah lingkungan. Mobil-mobil kuno, bisa dioperasikan sebagai taxi eksklusif. Dengan taxi itu penumpang bisa menyelusuri seluruh sudut kawasan Kota Tua. Tarifnya bisa semahal naik gondola di Venesia, misalnya…


[+/-] Selengkapnya...

Kota


Ubah Imej Kota Hantu, Jadi Andalan Wisata
JIKA Singapura bisa memiliki dan mempertahankan kawasannya yang disebut Little India, China Town dan Kampung Melayu sebagai salah satu objek wisata menarik, mengapa Jakarta tidak? Seperti di negara tetangga tersebut, ibu kota Indonesia itu memiliki kota tua yang tak kalah menarik. Dilihat dari jumlah bangunan dan bentuknya, kota tua di kawasan Kota jauh lebih besar. Bangunan-bangunan tua tersebut berumur lebih dari satu abad, bahkan sudah mendekati dua setengah abad.

Sayang, potensi besar itu kurang tergarap secara maksimal. Banyak bangunan dibiarkan kosong tak berpenghuni, kusam, dan bahkan tidak sedikit dinding dan atapnya yang jebol. Berjalan di malam hari di kawasan ini serasa di tengah “kota hantu” (ghost town).

Barangkali, kita bisa belajar dari Negeri Singa itu bagaimana menata kota tua, sehingga menjadi tourist city di Asia Tenggara dan bahkan tujuan wisata internasional. Negara pulau ini mewarisi banyak bangunan dan kawasan historis. Padahal, dalam dekade 1970-an, bangunan bersejarah itu hampir musnah tergusur gedung-gedung modern akibat ledakan ekonomi (economic boom) yang melanda negara itu.


THE Supreme Court, terletak di St. Andrew’s Road dan dibangun pada 1939, masih berdiri megah dengan pilar-pilar bergaya Doric dan Corinthian. Tidak jauh dari situ, Raffles Hotel, dibangun pada 1887, terlihat anggun dalam warna putihnya, sangat khas bangunan masa kolonial Inggris. Ini hanya untuk menyebut beberapa tempat. Masih banyak sudut kota yang dapat dijumpai kuil China dan Hindu, gereja, dan masjid berusia puluhan tahun. Tidak ada kesan suram atau terabaikan pada bangunan-bangunan tersebut. Tampaknya semua itu adalah hasil kedisiplinan dan usaha yang sungguh-sungguh dari pemerintah dan warga Singapura dalam mejaga aset wisata negara mereka.

Patricia Setyadjie, General Manager Cody Enterprises mengatakan amat penting upaya pemerintah untuk segera merevitalisasi kota tua di Jakarta. “Saya senang sekali kalau liburan berkunjung ke museum Fatahilah ataupun sekadar berjalan-jalan di sekitar kota tua. Nostalgia? Iya juga sih, meskipun saya bukan orang zaman dulu. Nilai seninya itu. Tapi sayang bawaaannya saya malas sebab kota itu identik dengan semraut, panas dan macet,” tutur Patricia.
Kota tua di Jakarta bisa menjadi objek wisata menarik seperti Singapura atau Eropa jika ada political will yang sangat kuat dari pemerintah. Kawasan ini harus segera direvitalisasi secara total supaya investor tertarik. Daerah bersejarah ini bisa menjadi andalan wisata yang dapat mendatangkan pendapatan asli daerah (PAD) dan tidak menjadi “kota hantu” lagi yang membuat orang segan melewatinya, terutama di malam hari. (art/aak/anz/vit) indopos

Filed under: kliping, kotatua

[+/-] Selengkapnya...